Sunday, 26 June 2011

Budaya Mendengar Anak

Menilik pengalaman saya kala tinggal bersama keluarga Belgia saya tahun 2008. Hari itu adalah hari Natal di mana keluarga yang saya tumpangi mengundang seluruh kelurga besar untk 'Christmas Lunch. Saya mendapat pengalaman yang luar biasa baik sebagai wanita dewasa, calon ibu, dan perempuan Indonesia yang ingin sekali saya bagikan kepada banyak ibu-ibu Indonesia.

Christmas lunch berlangsung di satu meja persegi panjang yang besar dan dihias cantik, saya duduk di tengah-tengah sehingga dapat melihat dari banyak sisi. Sisi paling ujung kiri saya adalah 'Papilou'  (kakek), anggota tertua dari keluarga yang saya tumpangi, yang berusia lebih dari 80 tahun dan di sisi paling ujung kanan saya adalah cucu paling muda dari 'Papilou' berusia hampir 5 tahun kala itu.

Ini yang paling menarik dari seluruh cerita pengalaman saya kala itu, di mana saya merasa kenapa kita bangsa Indonesia tidak pernah terbersit untuk melakukan satu hal sederhana ini. Papilou, anggota paling tua dari kami bercerita mengenai satu pengalaman dalam hidupnya. Ketika ia mulai bercerita, kontan seluruh anggota keluarga melambatkan bahkan ada dari antara kami yang menghentikan kegiatan makannya, termasuk si cucu termuda, demi mendengar seluruh cerita Papilou dan tidak ada satupun yang menyela atau memberi komentar sampai akhirnya Papilou berhenti bercerita. Melihat bagaimana setiap orang dari keluarga Belgia saya menghargai tetua nya berbicara bukanlah pokok atau inti cerita saya.

Justru yang ingin saya highlight di sini adalah ketika si cucu termuda yang usianya belum juga genap 5 tahun mulai berbicara tentang satu pengalaman bersekolahnya, dengan mengatakan "J'ai une histoire" atau "Saya punya cerita". Dan si cucu menceritakan dengan semangat peristiwa adu mulut dia dan teman sekolahnya mengenai teman si cucu yang dirasanya terlalu egois karena tidak memperbolehkan dia bergantian bermain mini carousel di sekolahnya. Apa yang terjadi di meja makan keitka si bocah paling muda ini bercerita? Satupun dari kami tak ada yang menginterupsi, semua mendengar cerita hingga selesai dengan seksama dan tak berkomentar hingga ia selesai berbicara. Ia diperlakukan sama seperti ketika si kakek bercerita. Mereka berdua terlepas tua nya usia mereka berdua, mereka punya hak yang sama; yaitu didengarkan ketika berbicara.

Meja makan pun selalu ramai karena setiap orang sibuk bertukar pendapat satu sama lain mengenai cerita si cucu. Masing-masing menyampaikan sudut pandang mereka kepada si cucu tanpa menggunakan 'bahasa bayi' (baby talk). Si cucu juga menyampaikan pembenaran dari tindakannya kepada seisi keluarga melalui sudut pandang anak-anaknya yang kalau saya boleh bandingkan dengan anak-anak kita, betapa sangat jauh gap cara pandang anak-anak Indonesia yang berusia 6-6 tahun akan suatu hal dibanding si cucu paling muda ini.. Melihat bagaimana kebudayaan, tradisi, dan sikap mental penduduk negara ini membuat saya tidak terlalu heran jika si cucu berusia balita ini punya alasan yang begitu dewasa. Tetapi yang sampai saat ini, setelah hampir 3 tahun saya pulang ke tanah air dan masih saja membekas di ingaatan saya adalah ketika semua orang memberikan hak yang sama, egaliter, tak pandang bulu, equal terhadap kebutuhan untuk didengar.

Malam harinya sebelum saya tidur, seperti biasa saya berkontemplasi sedikit soal pengalaman yang saya dapat seharian. Saya memikirkan Christmas Lunch. Saya menelaah dan berkesimpulan bahwa kejadian tadi siang adalah salah satu faktor alasan kenapa manusia-manusia Eropa begitu percaya diri mengemukakan pendapat. Tidak ragu-ragu dalam beropini dan begitu kontributif terhadap keputusan bersama. Mereka sudah terbiasa didengarkan sejak mereka kecil. Menjadi anak kecil di budaya di mana mereka tumbuh tidak lalu membuat pendapat mereka kecil. Everybody counts. Everybody listens to everybody no matter how old you are. You are listened because you have the rights to be listened despite the age.

Anak-anak Indonesia seharusnya bisa diperlakukan sama. Anak-anak Indonesia seharusnya juga berhak didengarkan dengan seksama atas pendapat pribadi mereka. Sudah saatnya para orang tua Indonesia membuang jauh-jauh cara berpikir 'anak kecil tidak tahu apa-apa'. Ketika kita para orang tua berhak untuk didengarkan, demikian halnya dengan anak-anak, seberapa ringannya pendapat pribadi mereka tentang suatu hal. Maka orangtua Indonesia, jika Anda sudah ada di sana, di mana Anda mampu mendengarkan pendapat anak meski hal itu terasa kecil buat Anda, pertahankanlah. Mendidik anak dibutuhkan kontinuitas. Dan bagi orangtua yang masih menganggap remeh pendapat anak, Anda tidak membantu anak Anda menjadi lebih baik dengan mempertahankan cara berpikir seperti ini.

Jadi selamat mendengar!